Tahun ke-2 Edisi 21

Baru saja umat Islam merayakan Tahun Baru Hijriyah. Sudah 1438 tahun berlalu sejak peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekah ke Madinah. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari momen bersejarah tersebut, salah satunya jika hijrah dimaknai dalam arti hijrah hati, seperti yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dalam bukunya Bekal Hijrah Menuju Allah. Mengingat kondisi masyarakat seperti sekarang ini, dimana nilai-nilai materialisme berkembang dengan berbagai kedoknya, bahkan secara tidak sadar menjangkit diri kita, diperlukan upaya untuk mengembalikan diri kita kepada nilai-nilai Islam yang seharusnya. Bagaimana agar kita bisa berhijrah hati secara benar?

Tahun Baru Hijriah telah kembali tiba. Meski tanpa gegap gempita selayaknya peringatan tahun baru Masehi, namun banyak umat Islam yang menyambutnya dengan suka cita. Wujud suka cita itu dirupakan dengan kegiatan bertafakur, merenung dan melakukan instropeksi diri, mengingat apa saja amalan yang sudah dilakukan dan kealpaan yang masih terjadi selama setahun ini. Namun, tahukah kita bahwa Tahun Baru Hjriah bukan hanya tepat digunakan untuk mengingat segala kebaikan dan keburukan yang sudah kita lakukan, tapi ia juga menjadi momen pengingat akan sebuah peristiwa besar kala itu, yakni peristiwa hijrahnya Nabi dan umat Islam dari Mekah ke Madinah. Ya, momen hijrah memang terjadi bertepatan dengan bulan Muharram. Karena begitu besarnya pengaruh serta makna peristiwa hijrah bagi umat Islam, tahun tersebut lantas kemudian dijadikan sebagai pijakan dalam penanggalan Hijriah, istimewa bukan? Lantas dalam hati, kita semua mungkin bertanya-tanya, kenapa peristiwa hijrah dianggap sebagai peristiwa penting? Apa sebenarnya makna besar yang terkandung dalam peristiwa hijrah? Dan bagaimana memaknai hijrah dalam konteks kekinian? Ingin tahu jawabannya?